Brahmacharya


Suatu ketika aku pergi ke tepi laut, mencoba merenungkan arti keberadaanku. Lalu dari arah laut tersapu sebuah sampah plastik tertambat di kakiku. Sampah itupun kemudian terseret kembali ke laut, terombang-ambing oleh ombak.

Sejak awal mula, jiwa manusia selalu terombang-ambing oleh perasaannya, oleh pengalamannya, oleh apa yang dilihatnya, didengarnya, dirasakannya, oleh apa yang dipikirkannya. Manusia tidak tahu bagaimana menyeimbangkannya. Seperti saat melihat orang yang dicintainya bersama orang lain, ia langsung galau, hancur, dan tenggelam. Kesadarannya terselimuti oleh kabut perasaannya. jiwa menjadi begitu rapuh, padahal jiwa lebih besar dari perasaannya.

Karena alasan itu, aku ingin menyeimbangkan diriku. Sebab sebelum aku memberi keseimbangan pada dunia, aku sendiri haruslah seimbang. Lalu entah kapan, aku mengambil sumpah bahwa aku tidak akan melihat samudera lagi dengan mataku sendiri sampai aku menemukan cinta sejati, cinta dalam bentuk pribadi yang nyata. Sumpah ini menjadi latihan bagiku untuk setia pada prinsip dan nilai2 yang kuyakini. Sebab aku tidak ingin seperti sampah yang terombang-ambing oleh lautan. Sumpahku akan menjadi bukti semua orang bahwa di jaman inipun, keseimbangan jiwa bukanlah sesuatu yang berada di awang2, tetapi tepat berada di jantung semua orang. Jiwaku akan seimbang seperti teratai yang menari2 di atas aliran, tidak terombang-ambing, tidak pula tenggelam.

Seperti aliran sungai kecil yang belum akan bisa berisitirahat sebelum sampai ke samudera, samudera akan menjadi kerinduan terdalamku. Sebab ketika aku menyatu dengan samudera, jiwaku akan memperoleh kekuatan yang tak terbatas; bukan hanya soal keseimbangan, tapi juga soal keselarasan dan keserasian; tentang sesuatu yang disebut harmoni.

Inilah sumpahku seumur hidup... Brahmacharya-ku..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Di Kala Senja

Coffee of Destiny

Stream Of Destiny